Dari Handphone Kuno ke Zaman Digital
Dari Handphone Kuno ke Zaman Digital, Pada awal tahun 2000-an, handphone masih menjadi barang langka di daerah perbatasan Indonesia-Filipina seperti Kepulauan Sangihe. Di banyak rumah pedesaan, hanya segelintir orang yang memilikinya. Fungsinya pun terbatas, sekadar untuk berkomunikasi lewat panggilan dan SMS.
Nokia 1100 adalah salah satu model legendaris kala itu. Dengan layar monokrom dan tombol karet yang khas, handphone ini hanya mampu untuk menelepon, berkirim SMS, memilih nada dering, serta bermain game seperti Snake dan Tetris. Tidak ada layar sentuh, kamera, apalagi internet.
Meski sederhana, fitur itu sudah cukup menghibur masyarakat perbatasan. Namun, untuk komunikasi, tetap dibutuhkan strategi. Mengisi pulsa harus dihitung cermat karena karakter SMS berpengaruh pada biaya. Sementara untuk menelepon, biasanya hanya dilakukan jika sangat penting agar pulsa tidak cepat habis.
Masalah utama saat itu bukan hanya fitur, tapi juga sinyal. Di beberapa wilayah Sangihe seperti Kecamatan Tabukan Selatan, sinyal harus “dijemput” dari menara BTS di kecamatan lain yang bisa berjarak puluhan kilometer.
Ritual Mencari Sinyal
Karena keterbatasan jaringan, mencari sinyal menjadi semacam “ritual sosial”. Warga yang memiliki handphone rela berjalan kaki atau naik motor menuju tempat tinggi. Bukit, bawah pohon besar, hingga pinggir jalan berubah menjadi “pos komunikasi darurat”.
Kursi bambu dan gubuk kecil pun sering difungsikan sebagai tempat menunggu sinyal. Suasana menjadi ramai oleh nada dering, tawa, dan kadang keluhan saat sinyal tiba-tiba hilang atau sambungan terputus.
Dulu Handphone Bisa Dipinjam, Sekarang Lebih Pribadi
Pada masa handphone kuno, saling meminjam perangkat adalah hal lumrah. Bahkan isi pesan sering dibaca ramai-ramai dan jadi bahan candaan. Namun kini, handphone menjadi barang privat. Perubahan ini mencerminkan pergeseran budaya dalam penggunaan teknologi.
Handphone modern menyimpan banyak hal pribadi: foto, video, chat, email, hingga aplikasi perbankan dan dompet digital. Maka wajar jika kini, meminjamkan handphone perlu pertimbangan matang.
Menyambut Era Digital di Perbatasan
Nuansa era digital mulai terasa sekitar 2007–2009. Handphone berkembang, salah satunya Nokia 5300 yang populer di kalangan anak muda.
Untuk mengakses informasi atau mengerjakan tugas, warga menggunakan komputer atau laptop, biasanya di kantor sekolah atau pemerintahan. Tak ada WiFi gratis seperti sekarang. Bahkan membuka satu halaman web bisa memakan waktu selama memasak mie instan.
Kemudian muncul warnet, jadi tempat favorit anak muda. Mereka datang untuk tugas sekolah, Facebook-an, atau sekadar nongkrong. Warnet menjadi titik awal perkenalan masyarakat dengan dunia digital.
Sangihe Hari Ini: Teknologi Sentuh Ujung Negeri
Kini Sangihe telah berubah drastis. Infrastruktur membaik, jalan penghubung antardesa telah dibangun, dan jaringan komunikasi menjangkau hampir seluruh wilayah.
Handphone modern dengan fitur canggih sudah menjadi hal biasa. Aplikasi seperti WhatsApp menggantikan SMS, dan media sosial seperti Facebook, Instagram, dan TikTok menemani rutinitas masyarakat.
Warga kini bisa berbelanja online, transfer uang, bahkan menciptakan konten dan mendapatkan penghasilan darinya. Anak muda perbatasan mulai mengikuti tren digital, belajar edit video, membuat komunitas online, dan aktif di Telegram atau WhatsApp group.
Para pelaku usaha juga makin mudah memasarkan produk mereka ke luar pulau. Komunitas lokal tumbuh dengan dukungan pelatihan teknologi dan literasi digital dari pemerintah daerah.
Tantangan di Balik Perkembangan
Meski banyak kemajuan, tantangan tetap ada. Masih ada daerah yang belum tersentuh sinyal, atau sinyalnya tidak stabil. Masalah literasi digital juga menjadi perhatian. Tidak semua warga memahami cara menggunakan teknologi secara optimal dan aman.
Ancaman hoaks, keamanan data, dan kecanduan gadget pun ikut mengiringi kemajuan ini.
Teknologi yang Mengubah Wajah Perbatasan
Perjalanan dari handphone kuno ke smartphone di Sangihe bukan hanya soal perkembangan teknologi. Ini juga tentang bagaimana teknologi mengubah gaya hidup, cara berinteraksi, dan membuka peluang baru.
Kini, perbatasan bukan lagi hanya garis geografis. Teknologi telah menyambungkan masyarakat dengan dunia luar. Generasi Z di perbatasan tak hanya mengenal lingkungan sekitarnya, tapi juga aktif mengikuti tren global dan berpartisipasi di dunia digital.
Baca Juga : Perkembangan Dunia Digital.